KESULTANAN SAMBAS
|
|
Berdiri
|
|
Didahului oleh
|
|
Digantikan oleh
|
|
Pemerintahan
-Sultan pertama -Sultan terakhir |
|
Sejarah
-Didirikan -Zaman kejayaan -Krisis suksesi |
Kesultanan Sambas adalah kesultanan yang
terletak di wilayah pesisir utara Propinsi Kalimantan Barat atau wilayah barat
laut Pulau Borneo (Kalimantan)dengan pusat pemerintahannya adalah di Kota Sambas sekarang. Kesultanan Sambas adalah penerus dari kerajaan-kerajaan Sambas
sebelumnya. Kerajaan yang bernama Sambas di Pulau Borneo atau Kalimantan ini
telah ada paling tidak sebelum abad ke-14 M sebagaimana yang
tercantum dalam
Kitab Negara Kertagama karya Prapanca. Pada masa itu Rajanya mempunyai gelaran
"Nek" yaitu salah satunya bernama Nek Riuh. Setelah masa Nek Riuh,
pada sekitar abad ke-15 M muncul pemerintahan Raja yang bernama Tan Unggal yang
terkenal sangat kejam. Karena kekejamannya ini Raja Tan Unggal kemudian
dikudeta oleh rakyat dan setelah itu selama puluhan tahun rakyat di wilayah
Sungai Sambas ini tidak mau mengangkat Raja lagi. Pada masa kekosongan
pemerintahan di wilayah Sungai Sambas inilah kemudian pada awal abad ke-16 M
(1530 M) datang serombongan besar Bangsawan Jawa (sekitar lebih dari 500 orang)
yang diperkirakan adalah Bangsawan Majapahit yang masih hindu melarikan diri
dari Pulau Jawa (Jawa bagian timur) karena ditumpas oleh pasukan Kesultanan
Demak dibawah Sultan Demak ke-3 yaitu Sultan Trenggono.
Pada saat itu di pesisir dan tengah wilayah Sungai
Sambas ini telah sejak ratusan tahun didiami oleh orang-orang Melayu yang telah
mengalami asimilasi dengan orang-orang Dayak pesisir dimana karena saat itu
wilayah ini sedang tidak ber-Raja (sepeninggal Raja Tan Unggal) maka kedatangan
rombongan Bangsawan Majapahit ini berjalan mulus tanpa menimbulkan konflik.
Rombongan Bangsawan Majapahit ini kemudian menetap di hulu Sungai Sambas yaitu
di suatu tempat yang sekarang disebut dengan nama "Kota Lama". Setelah
sekitar lebih dari 10 tahun menetap di "Kota Lama" dan melihat
keadaan wilayah Sungai Sambas ini aman dan kondusif maka kemudian para
Bangsawan Majapahit ini mendirikan sebuah Panembahan / Kerajaan hindu yang
kemudian disebut dengan nama "Panembahan Sambas". Raja Panembahan
Sambas ini bergelar "Ratu" (Raja Laki-laki)dimana Raja yang pertama
tidak diketahui namanya yang kemudian setelah wafat digantikan oleh anaknya
yang bergelar Ratu Timbang Paseban, setelah Ratu Timbang Paseban wafat lalu
digantikan oleh Adindanya yang bergelar Ratu Sapudak. Pada masa Ratu Sapudak
inilah untuk pertama kalinya diadakan kerjasama perdagangan antara Panembahan
Sambas ini dengan VOC yaitu pada tahun 1609 M.
Pada masa Ratu Sapudak inilah rombongan Sultan Tengah
(Sultan Sarawak ke-1) bin Sultan Muhammad Hasan (Sultan Brunei ke-9) datang
dari Kesultanan Sukadana ke wilayah Sungai Sambas dan kemudian menetap di
wilayah Sungai Sambas ini (daerah Kembayat Sri Negara. Anak laki-laki sulung
Sultan Tangah yang bernama Sulaiman kemudian dinikahkan dengan anak bungsu Ratu
Sapudak yang bernama Mas Ayu Bungsu sehingga nama Sulaiman kemudian berubah
menjadi Raden Sulaiman. Raden Sulaiman inilah yang kemudian setelah keruntuhan
Panembahan Sambas di Kota Lama mendirikan Kerajaan baru yaitu Kesultanan Sambas
dengan Raden Sulaiman menjadi Sultan Sambas pertama bergelar Sultan Muhammad
Shafiuddin I yaitu pada tahun 1671 M.
Sejarah Ringkas Kesultanan Sambas
Istana Alwatzikhoebillah |
Sebelum berdirinya Kesultanan Sambas pada tahun 1671 M, di wilayah Sungai Sambas ini sebelumnya telah berdiri kerajaan-kerajaan yang menguasai wilayah Sungai Sambas dan sekitarnya. Berdasarkan data-data yang ada, urutan kerajaan yang pernah berdiri di wilayah Sungai Sambas dan sekitarnya sampai dengan terbentuknya Negara Republik Indonesia adalah :
1. Kerajaan Nek Riuh
sekitar abad 13 M - 14 M.
2. Kerajaan Tan Unggal
sekitar abad 15 M.
3. Panembahan Sambas pada
abad 16 M.
4. Kesultanan Sambas pada
abad 17 M - 20 M.
Secara otentik Kerajaan Sambas telah eksis sejak abad
ke 13 M yaitu sebagaimana yang tercantum dalam kitab Negarakertagama karyaPrapanca pada masa Majapahit (1365 M). Kemungkinan besar bahwa Kerajaan Sambas saat itu rajanya bernama
Nek Riuh. Walaupun secara otentik Kerajaan Sambas tercatat sejak abad ke-13 M,
namun demikian berdasarkan benda-benda arkeologis (berupa gerabah, patung dari
masa Hindu)yang
ditemukan selama ini di wilayah sekitar Sungai Sambas menunjukkan bahwa pada
sekitar abad ke-6 M atau 7 M di wilayah ini diyakini telah berdiri sebuah
kerajaan. Hal ini ditambah lagi dengan melihat posisi wilayah Sambas yang
berhampiran dengan Selat Malaka yang merupakan lalu lintas dunia, sehingga
diyakini bahwa pada sekitar abad ke-5 hingga 7 M di wilayah Sungai Sambas ini
telah berdiri Kerajaan Sambas yaitu lebih kurang bersamaan dengan masa
berdirinya Kerajaan Batu Laras di hulu Sungai Keriau yaitu sebelum berdirinya
Kerajaan Tanjungpura.
Kedatangan rombongan bangsawan Majapahit di Sambas
dapat berjalan mulus tanpa menimbulkan konflik bukanlah hanya karena wilayah
Sambas pada waktu itu tidak be-raja (tidak mempunyai penguasa) setelah era Raja
Tan Unggal, tapi lebih disebabkan karena penduduk Sambas pada waktu itu
mempunyai kepercayaan yang sama dengan rombongan Majapahit tersebut, yakni
Hindu. Hindu sudah berkembang di Nusantara sejak berdirinya Kerajaan Kutai
Martadipura (era pemerintahan Mulawarman) sampai kepada Kerajaan Kutai
Kartanegara. Wajar kalau pengaruhnya sampai ke wilatah Sambas. Jadi pada waktu
itu belum ada istilah “melayu atau dayak”. Istilah atau penyebutan itu ada
setelah masuknya Islam. Penduduk yang kemudian masuk Islam dinamakan
"Melayu" dan penduduk yang masih menganut Hindu (Kaharingan)
dinamakan "Dayak" (Dayak artinya "orang hulu", yakni orang
yang tinggal di hulu sungai atau pedalaman). Disebut orang pedalaman atau hulu
bukan karena mereka terdesak oleh masuknya Islam tapi karena memang mereka
belum tersentuh oleh syiar Islam, disebabkan mereka tinggal jauh di pedalaman.
Pada waktu itu Islam umumnya memang disyiarkan oleh pedagang-pedagan dari
Gujarat, Hadramaut dan dari Tiongkok (armada Laksamana Cheng Ho).
Pedagang-pedagang dan penjelajah lautan ini hanya singgah dan berdagang di
daerah pesisir.
Rombongan dari pulau Jawa (Majapahit) ini pertama kali
mendarat disebuah tempat yang dinamakan Pangkalan Jambu, sebuah tempat yang
berada di Kecamatan Jawai, Kabupaten Sambas yang sekarang. Itulah sebabnya
daerah tempat mendaratnya rombongan bangsawan dari Jawa Dwipa ini dinamakan
Jawai sampai sekarang.
Masjid Sultan Muhammad Syafi'oeddin II |
Sedangkan sejarah berdirinya Kesultanan Sambas bermula di Kesultanan Brunei yaitu ketika Sultan Brunei ke-9 --Sultan Muhammad Hasan-- wafat pada tahun 1598 M, maka kemudian putra Baginda yang sulung menggantikannya dengan gelar Sultan Abdul Jalilul Akbar. Ketika Sultan Abdul Jalilul Akbar telah memerintah puluhan tahun kemudian muncul saingan untuk menggantikan dari Adinda Sultan Abdul Jalilul Akbar yang bernama Pangeran Muda Tengah. Untuk menghindari terjadinya perebutan kekuasaan maka Baginda Sultan Abdul Jalilul Akbar membuat kebijaksanaan untuk memberikan sebagai wilayah kekuasaan Kesultanan Brunei yaitu daerah Sarawak kepada Pangeran Muda Tengah. Maka kemudian pada tahun 1629 M, Pangeran Muda Tengah menjadi Sultan di Sarawak sebagai Sultan Sarawak pertama dengan gelar Sultan Ibrahim Ali Omar Shah yang kemudian Baginda lebih populer di kenal dengan nama Sultan tengah atau Raja Tengah yaitu merujuk kepada gelaran Baginda sebelum menjadi Sultan yaitu Pangeran Muda Tengah.Setelah sekitar 2 tahun memerintah di Kesultanan
Sarawak yang berpusat di Sungai Bedil (Kota Kuching sekarang ini), Baginda
Sultan Tengah kemudian melakukan kunjungan ke Kesultanan Johor. Saat itu di
Kesultanan Johor yang menjadi Sultan adalah Sultan Abdul Jalil (Raja
Bujang)dimana Permaisuri Sultan Abdul Jalil ini adalah Mak Muda dari Sultan
Tengah. Sewaktu di Kesultanan Johor ini terjadi kesalahpahaman antara Baginda
Sultan Tengah dengan Sultan Abdul Jalil sehingga kemudian membuat Baginda
Sultan Tengah dan rombongannya harus pulang dengan tergesa-gesa ke Sarawak
sedangkan saat itu sebenarnya bukan angin yang baik untuk melakukan pelayaran.
Oleh karena itulah maka ketika sampai di laut lewat dari Selat Malaka, kapal rombongan
Baginda Sultan Tengah ini dihantam badai yang sangat dahsyat. Setelah
terombang-ambing di laut satu hari satu malam, setalah badai mereda, kapal
Baginda Sultan Tengah tenyata telah terdampar di pantai yang adalah wilayah
kekuasaan Kesultanan Sukadana. Pada saat itu yang menjadi Sultan di Kesultanan
Sukadana adalah Sultan Muhammad Shafiuddin (Digiri Mustika) yang baru saja
kedatangan Tamu Besar yaitu utusan Sultan Makkah (Amir Makkah) yaitu Shekh
Shamsuddin yang mengesahkan gelaran Sultan Muhammad Shafiuddin ini. Sebelum ke
Kesultanan Sukadana, Shekh Shamsuddin telah berkunjung pula ke Kesultanan
Banten yang juga mengesahkan gelaran Sultan Banten pada tahun yang sama.
Baginda Sultan Tengah dan rombongannya kemudian
disambut dengan baik oleh Baginda Sultan Muhammad Shafiuddin (Digiri Mustika.
Setelah tinggal beberapa lama di Kesultanan Sukadana ini, setelah melihat
perawakan dan kepribadian Baginda Sultan Tengah yang baik, maka kemudian Sultan
Muhammad Shafiuddin mencoba menjodohkan Adindanya yang dikenal cantik jelita
yang bernama Putri Surya Kesuma dengan Baginda Sultan Tengah. Sultan Tengah pun
kemudian menerima perjodohan ini sehingga kemudian menikahlah Baginda Sultan
Tengah dengan Putri Surya Kesuma dengan adat kebesaran Kerajaan Kesultanan
Sukadana. Setelah menikah dengan Putri Surya Kesuma ini Baginda Sultan Tengah
kemudian memutuskan untuk menetap sementara di Kesultanan Sukadana sambil
menunggu situasi yang aman di sekitar Selat Malaka menyusul adanya ekspansi
besar-besaran dari Kesultanan Johor dibawah pimpinan Sultan Abdul Jalil (Raja
Bujang) di wilayah itu. Dari pernikahannya dengan Putri Surya Kesuma ini
Baginda Sultan Tengah kemudian memperoleh seorang anak laki-laki yang kemudian
diberi nama Sulaiman.
Setelah sekitar 7 tahun menetap di Kesultanan Sukadana
dan situasi di sekitar Selat Malaka masih belum aman dari ekspansi Sultan Abdul
Jalil Johor (Raja Bujang) itu, maka Baginda Sultan Tengah kemudian memutuskan
untuk berpindah dari Kesultanan Sukadana untuk menetap di tempat baru yaitu
wilayah Sungai Sambas karena sebelumnya Baginda Sultan Tengah telah mendengar
sewaktu di Sukadana bahwa di sekitar Sungai Sambas terdapat sebuah Kerajaan
yang berhubungan baik dengan Kesultanan Sukadana yaitu Panembahan Sambas.
Maka kemudian pada tahun 1638 M berangkatlah rombongan
Baginda Sultan Tengah beserta keluarga dan orang-orangnya dengan menggunakan 40
perahu yang lengkap dengan alat senjata dari Kesultanan Sukadana menuju
Panembahan Sambas di Sungai Sambas. Setelah sampai di Sungai Sambas, rombongan
Baginda Sultan Tengah ini kemudian disambut dengan baik oleh Raja Panembahan
Sambas saat itu yaitu Ratu Sapudak. Rombongan Baginda Sultan Tengah ini
kemudian dipersilahkan oleh Ratu Sapudak untuk menetap di sebuah tempat tak
jauh dari pusat pemerintahan Panembahan Sambas.
Tidak lama setelah Baginda Sultan Tengah beserta
keluarga dan orang-orangnya tinggal di Panembahan Sambas, Ratu Sapudak kemudian
meninggal secara mendadak. Sebagai penggantinya maka kemudian diangkatlah
keponakan Ratu Sapudak yang bernama Raden Kencono (Anak Ratu Timbang Paseban).
Raden Kencono ini adalah juga menantu dari Ratu Sapudak karena mengawini anak
Ratu Sapudak yang perempuan bernama Mas Ayu Anom. Setelah menaiki tahta
Panembahan Sambas, Raden Kencono ini kemudian bergelar Ratu Anom Kesumayuda.
Setelah sekitar 10 tahun Baginda Sultan Tengah menetap
di wilayah Panembahan Sambas dan anaknya yang sulung yaitu Sulaiman sudah
beranjak dewasa maka kemudian Sulaiman dijodohkan dan kemudian menikah dengan
anak perempuan Almarhum Ratu Sapudak yang bungsu bernama Mas Ayu Bungsu. Karena
pernikahan inilah maka Sulaiman kemudian dianugerahkan gelaran Raden oleh
Panembahan Sambas sehingga nama menjadi Raden Sulaiman dan selanjuntnya tinggal
di lingkungan Keraton Panembahan Sambas bersama Mas Ayu Bungsu. Dari
pernikahannya dengan Mas Ayu Bungsu ini, Raden Sulaiman memperoleh seorang anak
pertama yaitu seorang anak laki-laki yang kemudian diberi nama Raden Bima.
Raden Sulaiman kemudian diangkat oleh Ratu Anom Kesumayuda menjadi salah satu
Menteri Besar Panembahan Sambas bersama dengan Adinda Ratu Anom Kesumayuda yang
bernama Raden Aryo Mangkurat.
Tidak lama setelah kelahiran cucu Baginda Sultan
Tengah yaitu Raden Bima, dan setelah melihat situasi yang sudah mulai aman di
sekitar Selat Malaka apalagi setelah melihat anaknya yang sulung yaitu Raden
Sulaiman telah menikah dan mandiri bahkan telah menjadi Menteri Besar
Panembahan Sambas, maka Baginda Sultan Tengah kemudian memutuskan sudah saatnya
untuk kembali ke Negerinya yang telah begitu lama di tinggalkannya yaitu
Kesultanan Sarawak. Maka kemudian berangkatlah Baginda Sultan Tengah beserta
istrinya yaitu Putri Surya Kesuma dan keempat anaknya yang lain (Adik-adik dari
Raden Sulaiman) yaitu Badaruddin, Abdul Wahab, Rasmi Putri dan Ratna Dewi
beserta orang-orangnya yaitu pada sekitar tahun 1652 M.
Ditengah perjalanan ketika telah hampir sampai ke
Sarawak yaitu disuatu tempat yang bernama Batu Buaya, secara tiba-tiba Baginda
Sultan Tengah ditikam dari belakang oleh pengawalnya sendri, pengawal itu
kemudian dibalas tikam oleh Baginda Sultan Tengah hingga pengawal itu tewas.
Namun demikian luka yang di tubuh Sultan Tengah terlalu parah sehingga kemudian
Baginda Sultan Tengah bin Sultan Muhammad Hasan pun wafat. Jenazah Baginda
Sultan Tengah kemudian setelah di sholatkan kemudian dengan adat kebesaran
Kesultanan Sarawak oleh Menteri-Menteri Besar Kesultanan Sarawak, dimakamkan di
lereng Gunung Sentubong. Adapun Putri Surya Kesuma setelah kewafatan suaminya
yaitu Almarhum Sultan Tengah, kemudian memutuskan untuk kembali ke Kesultanan
Sukadana yaitu tempat dimana ia berasal bersama dengan keempat anaknya.
Di Panembahan Sambas, sepeninggal Ayahnya yaitu
Baginda Sultan Tengah, Raden Sulaiman mendapat tentangan yang keras dari Adik
Ratu Anom Kesumayuda yang juga adalah Menteri Besar Panembahan Sambas yaitu
Raden Aryo Mangkurat. Tentangan dari Raden Aryo Mangkurat yang sangat fanatik
hindu ini karena iri dan dengki dengan Raden Sulaiman yang semakin kuat
mendapat simpati dari para pembesar Panembahan Sambas saat karena baik
prilakunya dan bagus kepemimpinannya dalam memagang jabatan Menteri Besar
disamping itu Raden Sulaiman ini juga sangat giat menyebarkan Syiar Islam di
lingkungan Keraton Panembahan Sambas yang mayoritas masih menganut hindu itu
sehingga dari hari ke hari semakin banyak petinggi dan penduduk Panembahan
Sambas yang masuk Islam sehingga Raden Sulaiman ini semakin dibenci oleh Raden
Aryo Mangkurat.
Tekanan terhadap Raden Sulaiman oleh Raden Aryo
Mangkurat ini kemudian semakin kuat hingga sampai pada mengancam keselamatan
Raden Sulaiman beserta keluarganya sedangkan Ratu Anom Kesumayuda tampaknya
tidak mampu berbuat dengan ulah adiknya itu. Maka Raden Sulaiman kemudian
memtuskan untuk hijrah dari pusat Panembahan Sambas dan mencari tempat menetap
yang baru. Maka kemudian pada sekitar tahun 1655 M, berangkatlah Raden Sulaiman
beserta istri dan anaknya serta orang-orangnya yaitu sebagian orang-orang
Brunei yang ditinggalkan Ayahnya (Sultan Tengah) ketika akan pulang ke Sarawak
dan sebagian petinggi dan penduduk Panembahan Sambas yang setia dan telah masuk
Islam.
Dari pusat Panembahan Sambas ini (sekarang disebut
dengan nama Kota Lama), Raden Sulaiman dan rombongannya sempat singgah selama
setahun di tempat yang bernama Kota Bangun dan kemudian memutuskan untuk menetap
di suatu tempat lain yang kemudian bernama Kota Bandir. Setelah sekitar 4 tahun
menetap di Kota Bandir ini, secara tiba-tiba, Ratu Anom Kesumayuda datang
menemui Raden Sulaiman dimana Ratu Anom Kesumayuda menyatakan bahwa ia dan
sebagian besar petinggi dan penduduk Panembahan Sambas di Kota Lama akan
berhijrah dari wilayah Sungai Sambas ini dan akan mencari tempat menetap yang
baru di wilayah Sungai Selakau karena ia (Ratu Anom Kesumayuda)telah berseteru
dan tidak sanggup menghadapi ulah adiknya yaitu Raden Aryo Mangkurat di Kota
Lama. Untuk itulah Ratu Anom Kesumayuda kemudian menyatakan menyerahkan
kekuasaan di wilayah Sungai Sambas ini kepada Raden Sulaiman dan agar melakukan
pemerintahan di wilayah Sungai Sambas ini.
Sekitar 5 tahun setelah mendapat mandat penyerahan
kekuasaan dari Ratu Anom Kesumayuda maka setelah berembug dengan orang-orangnya
dan melakukan segala persiapan yang diperlukan, Raden Sulaiman kemudian
memutuskan untuk mendirikan sebuah Kerajaan baru. Maka kemudian pada sekitar
tahun 1671 M Raden Sulaiman mendirikan Kesultanan Sambas dengan Raden Sulaiman
sebagai Sultan pertama Kesultanan Sambas dengan gelar Sultan Muhammad
Shafiuddin yaitu mengambil gelar dari nama gelaran Abang dari Ibundanya (Putri
Surya Kesuma) yaitu Sultan Muhammad Shafiuddin (Digiri Mustika, Sultan
Sukadana. Pusat pemerintahan Kesultanan Sambas ini adalah ditempat yang baru di
dekat muara Sungai Teberrau yang bernama Lubuk Madung.
Setelah memerintah selama sekitar 15 tahun yang di isi
dengan melakukan penataaan sistem pemerintahan dan pembinaan hubungan dengan
negari-negeri tetangga, pada tahun 1685 Sultan Muhammad Shafiuddin (Raden
Sulaiman) mengundurkan diri dari Tahta Kesultanan Sambas dan mengangkat anak
sulungnya yaitu Raden Bima sebagai penggantinya dengan gelar Sultan Muhammad
Tajuddin.
Sekitar setahun setelah memerintah sebagai Sultan
Sambas ke-2, Sultan Muhammad Tajuddin (Raden Bima), atas persetujuan dari
Ayahnya (Raden Sulaiman) kemudian memindahkan pusat pemerintahan Kesultanan
Sambas dari Lubuk Madung ke suatu tempat tepat di depan percabangan 3 buah
Sungai yaitu Sungai Sambas, Sungai Teberrau dan Sungai Subah. Tempat ini
kemudian disebut dengan nama "Muare Ulakkan" yang menjadi pusat
pemerintahan Kesultanan Sambas seterusnya yaitu dari tahun 1685 M itu hingga
berakhirnya pemerintahan Kesultanan Sambas pada tahun 1956 M atau sekitar 250
tahun.
Kerajaan Banjar menaungi wilayah Sungai Sambas dimulai
dari awal abad ke-15 M hingga pertengahan abad ke-16 M yaitu pada masa Kerajaan
Melayu hindu Sambas yang berkuasa di wilayah Sungai Sambas. Kerajaan Melayu
hindu Sambas itu kemudian runtuh pada pertengahan abad ke-17 dan digantikan
oleh Panembahan Sambas hindu yang menguasai wilayah Sungai Sambas itu
selanjutnya. Panembahan Sambas hindu ini didirikan oleh orang-orang Jawa yang
merupakan Bangsawan Jawa dari Raja Majapahit Wikramawardhana. Sejak berdirinya
Panembahan Sambas hindu bernaung dibawah Kesultanan Sukadana hingga awal abad
ke-17 M dan selanjutnya beralih bernaung dibawah Kesultanan Johor.Panembahan
Sambas hindu ini kemudian runtuh dan berdirilahKesultanan Sambas.Kesultanan Sambas yang didirikan pada sekitar tahun 1675 M oleh
keturunanan Sultan Brunei melalui Sultan Tengah dari Kesultanan
Brunei. Sejak berdirinya Kesultanan
Sambas adalah berdaulat penuh yaitu tidak pernah bernaung atau membayar upeti pada
Kerajaan manapun kecuali pada tahun 1855 M yaitu dikuasai / dikendalikan
pemerintahannya oleh Hindia Belanda (seperi juga seluruh Kerajaan-Kerajaan yang
ada di Indonesia ini pada masa itu terutama di Pulau Jawa) yaitu pada masa
Sultan Sambas ke-12 (Sultan Umar Kamaluddin). Jadi Kesultanan Sambas berbeda
dengan Panembahan Sambas apalagi Kerajaan Melayu hindu Sambas yang bernaung
kepada Kerajaan Banjar itu. Sedangkan Kesultanan
Sambas tidak pernah bernaung dibawah Kerajaan manapun yang mana Sultan-Sultan Sambas itu adalah Keturunan Nabi Muhammad
Saw (Ahlul Bayt) melalui Sultan-Sultan Brunei. Sedangkan yang
tercantum dalam Kitab Negarakertagama itu adalah Kerajaan Sambas kuno yang
menunjukkan bahwa paling tidak sekitar abad ke-13 M di wilayah Sungai Sambas
telah berdiri Kerajaan yang cukup besar. Sedangkan Kesultanan Sambas adalah
Dinasti Penguasa di Sungai Sambas yang paling akhir masanya dimana pada masa
berdirinya Kesultanan Sambas, Kerajaan
Majapahit telah runtuh sedangkanKesultanan Banten dan Kesultanan Demak kekuasaannya tidak sampai ke Kesultanan Sambas apalagi Kesultanan
Mataram terlalu lemah yang kemudian pecah menjadi
3 buah Kesultanan yang kecil-kecil (Yogyakarta, Mangkunegara dan Surakarta).
Bahkan Kesultanan Sambas selama sekitar 100 tahun
yaitu dari paruh pertama abad ke-18 hingga paruh pertama abad ke-19 M merupakanKerajaan
Terbesar di wilayah pesisir Barat Pulau Borneo ini
(Kalimantan Barat) hingga kemudian Hindia Belanda masuk ke wilayah pesisir Barat
Pulau Borneo ini pada awal abad ke-19 M dimana pihak Hindia Belanda ini yang
membuat besar Kesultanan
Pontianak sehingga kemudian Kesultanan
Pontianak menggantikan posisi Kesultanan Sambas
sebagai Kerajaan Terbesar di wilayah ini pada masa itu.
Hubungan Kesultanan Sambas dan Kesultanan
Brunei Darussalam
Sejarah tentang asal usul Kesultanan Sambas tidak bisa terlepas dari Kesultanan Brunei
Darussalam. Antara kedua kerajaan ini mempunyai kaitan persaudaraan
yang sangat erat. Pada abad ke-13, di Negeri Brunei Darussalam,
bertahta seorang Raja yang bergelar Sri Paduka Sultan Muhammad Shah
/ Awang Alak Betatar. Sultan Muhammad Shah ini merupakan Raja Brunei
pertama yang memeluk Islam, Sultan Brunei ke-1. Setelah Baginda wafat, tahta
kerajaan diserahkan kepada Adindanya yaitu Pateh Berbai yang kemudian bergelar Sultan Achmad. Istri (Permaisuri) dari Sultan Achmad ini adalah anak Kaisar China. Dari
hasil pernikahan ini Sultan Achmad hanya dikaruniai satu-satunya anak perempuan
yang bernama Putri Ratna Kesuma. Pada akhir abad ke-14 M (sekitar tahun 1398 M)
datang di Kesultanan Brunei pada masa Sultan Achmad ini seorang pemuda Arab
dari negeri Thaif (dekat Kota Suci Makkah)
yang bernama Syarif Ali.
Syarif Ali ini adalah mantan Amir Makkah (semacam Sultan Makkah)yang melarikan diri
dari Makkah melalui Thaif menyusul terjadinya perebutan kekuasaan Tahta Amir
Makkah dengan saudara sepupunya yang kemudian membuat posisi Amir Syarif Ali
ini terpojok dan terancam jiwanya sehingga kemudian ia melarikan diri ke Aden
(wilayah Yaman sekarang). Dari Aden Syarif Ali terus pergi ke India Barat, dari
India Barat terus ke Johor dan dari Johor lalu ke Kesultanan Brunei yaitu
dimasa Sultan Achmad (Pateh Berbai) yang memerintah Kesultanan Brunei. Syarif
Ali ini adalah keturunan langsung dari Amir Makkah yang terkenal di Jazirah
Arabia yaitu Syarif Abu Nu'may Al Awwal, dimana Syarif Abu
Nu'may Al Awwal ini adalah keturunan dari Cucu Rasulullah Shalallahu alaihi
Wassalam yaitu Amirul Mukminin Hasan Ra. Hal ini sesuai dengan silsilah yang terekam pada Batu Tarsilah Brunei yang
masih di temui hingga kini yang menyebutkan " Syarif Ali, Sultan Brunei
ketiga, adalah pancir (keturunan) dari Cucu Rasulullah,
Amirul Mukminin Hasan Ra." Karena saat itu
masyarakat negeri Brunei masih baru dalam memeluk Dienul Islam maka Syarif Ali
yang mempunyai pengetahuan Islam yang lebih dalam kemudian mengajarkan Dienul
Islam kepada masyarakat Brunei sehingga ia kemudian diangkat menjadi Mufti
Kesultanan Brunei pada masa Sultan Achmad itu. Sejak saat itu pengaruh Syarif
Ali di Kesultanan Brunei semakin kuat seiring dengan kuatnya antusiasme
masyarakat Brunei saat itu dalam mempelajari Islam. Posisi Syarif Ali di
Kesultanan Brunei ini kemudian menjadi semakin kuat lagi yaitu setelah Sultan
Achmad menjodohkan Putri satu-satunya yaitu Ratna Kesuma dengan Syarif Ali.
Pada saat Sultan Achmad sudah semakin tua dan mulai
memikirkan penggantinya dan saat itu pengaruh Syarif Ali sebagai Ulama besar
sekaligus menantu Sultan Achmad Tajuddin sudah begitu kuatnya di kalangan
istana dan masyarakat Brunei, maka kemudian timbul ide untuk menjadikan Syarif
Ali sebagai Sultan Brunei berikutnya apabila kelak Sultan Achmad wafat. Usul
ini kemudian di setujui oleh Sultan Achmad dan didukung pula dengan kuat oleh
masyarakat Kesultanan Brunei saat itu sehingga kemudian diangkatlah Syarif Ali
sebagai Sultan Brunei ke-3 menggantikan Sultan Achmad (Sultan Brunei ke-2)
dengan gelar Sultan Syarif Ali.
Setelah memerintah sekitar 7 tahun sebagai Sultan
Brunei, pada tahun 1432 M Sultan Syarif Ali wafat dan kemudian digantikan oleh
putra sulungnya yang bergelar Sultan Sulaiman, Sultan Brunei ke-4.
Sultan Sulaiman memerintah sangat panjang yaitu sekitar 63 tahun dan berusia
lebih dari 100 tahun. Setelah wafat pada tahun 1485 M, Sultan Sulaiman kemudian
digantikan oleh putranya yang kemudian bergelar Sultan Bolkiah yang memerintah dari tahun 1485 M hingga 1524 M. Pada masa Sultan Bolkiah
ini Kesultanan Brunei mengalami kemajuan yang sangat pesat dan mempunyai
wilayah kekuasaan yang sangat luas yaitu meliputi hampir seluruh Pulau Borneo /
Kalimantan hingga ke Banjarmasin. Sultan Bolkiah kemudian digantikan oleh
anaknya yang sulung yang bergelar Sultan Abdul Kahar sebagai Sultan Brunei
ke-6. Sultan Abdul Kahar kemudian digantikan oleh keponakannya (anak laki-laki dari Adindanya yang
laki-laki) yang kemudian bergelar Sultan Syaiful Rijal (Sultan Brunei ke-7).
Pada masa Sultan Syaiful Rijal inilah terjadinya pertempuran hebat antara Kesultanan Brunei dengan armada
pasukan Spanyol yang menyerang Kesultanan Brunei, namun berhasil dihalau oleh
pasuka Kesultanan Brunei saat itu. Sepeninggal Sultan Syaiful Rijal, ia
kemudian digantikan oleh anaknya yang sulung bergelar Sultan Shah Brunei (Sultan Brunei ke-8). Sultan Shah Brunei
ini tidak lama memerintah yaitu hanya setahun, wafat yang kemudian digantikan
oleh Adindanya yaitu anak laki-laki Sultan Syaiful Rijal yang kedua dan
bergelar Sultan Muhammad Hasan (Sultan Brunei ke-9) yang memerintah dari tahun 1598 sampai 1659.
Sultan Muhammad Hasan wafat pada tahun 1659 M dan
kemudian digantikan oleh putranya yang sulung bergelar Sultan Abdul Jalilul Akbar(Sultan Brunei ke-10). Sultan Abdul
Jalilul Akbar mempunyai saudara kandung laki-laki yang bergelar Pangeran Muda
Tengah. Pangeran Muda Tengah ini dikenal sebagai pemuda yang cerdas, gagah berani dan tampan sehingga
kemudian setelah Sultan Abdul Jalilul Akbar memerintah selama puluhan tahun
yaitu pada sekitar tahun 1621 M, timbul isu yang berkembang di Kesultanan
Brunei saat itu bahwa Pangeran Muda Tengah lebih pantas untuk menjadi Sultan
Brunei dibandingkan dengan Kakandanya yaitu Sultan Abdul Jalilul Akbar yang
sedang memerintah saat itu. Maka kemudian untuk menghindari terjadinya perebutan
Tahta Kesultanan Brunei, Baginda Sultan Abdul Jalilul Akbar kemudian membuat
kebijaksanaan untuk memberikan sebagian wilayah kekuasaan Kesultanan Brunei
masa itu yaitu Tanah Sarawak untuk diberikan kepada Adindanya yaitu Pangeran
Muda Tangah agar Adindanya itu dapat menjadi Sultan di Sarawak. Usul Baginda
Sultan Abdul Jalilul Akbar ini kemudian diterima oleh Pangeran Muda Tengah.
Maka kemudian berhijrahlah Pangeran Muda Tengah dari
Negeri Brunei beserta orang-orangnya yang terdiri dari sebagian pemuka-pemuka
Kesultanan Brunei saat itu dengan membawa 1000 orang Sakai sebagai pasukan dan
hulu balang. Selepas itu setelah menyiapkan segala sesuatunya maka kemudian
pada tahun 1625 M berdirilah Kesultanan Sarawak dengan Pangeran Muda Tengah
sebagai Sultan Sarawak yang pertama bergelar Sultan Ibrahim Ali Omar
Shah dengan pusat pemerintahan di sekitar Kota Kuching sekarang ini. Sultan Ibrahim Ali Omar Shah
ini kemudian lebih populer dengan sebutan Sultan Tengah atau Raja
Tengah yaitu mengambil dari gelar asalnya yaitu
Pangeran Muda Tengah. Raja tengah inilah yang telah datang ke Kesultanan
Sukadana pada tahun 1629 M.
Karena prilaku dan kemampuannya Baginda Sultan Tengah
ini sangat baik dan unggul sehingga Sultan Sukadana saat itu yaitu Baginda Sultan Muhammad Shafiuddin (Digiri Mustika) sangat bersimpati dengan Baginda Sultan Tengah sehingga kemudian Baginda
Sultan Muhammad Shafiuddin menjodohkan Adindanya yang dikenal cantik jelita
bernama Putri Surya Kesuma dengan Baginda Sultan Tengah. Maka kemudian menikahlah
Baginda Sultan Tengah dengan Putri Surya Kesuma. Dari perkawinan ini
terlahirlah seorang anak laki-laki yang diberi nama Sulaiman.Karena sebab tertentu yang menyangkut keamanan di wilayah sekitar Selat
Malaka saat itu maka sejak menikah dengan Putri Surya Kesuma, Baginda Sultan
Tengah beserta orang-orangnya memutuskan untuk menetap sementara di Kesultanan
Sukadana selama beberapa waktu. Sultan Tengah menetap di Kesultanan Sukadana
hingga kemudian dari pernikahannya dengan Putri Surya Kesuma diperoleh 5 orang
anak yaitu Sulaiman, Badaruddin, Abdul Wahab, Rasmi Putri dan Ratna Wati.
Tidak berapa lama setelah kelahiran anaknya yang ke-5
(Ratna Wati), Baginda Sultan Tengah kemudian memutuskan untuk hijrah dari
Kesultanan Sukadana menuju tempat kediaman baru di wilayah Sungai Sambas,
sambil masih menunggu keadaan aman di wilayah Selat Malaka untuk kembali pulang
ke Kesultanan Sarawak. Di wilayah Sungai Sambas saat itu diperintah oleh
seorang Raja yang dikenal dengan nama Panembahan Ratu Sapudak. Kerajaan Panembahan
Ratu Sapudak saat itu mayoritas masih hindu walaupun Ulama Islam telah pernah
berkunjung ke Panembahan Ratu Sapudak, dengan pusat pemerintahan di tempat yang
sekarang disebut dengan name Kota Lama, Kecamatan Teluk Keramat sekitar 36 km dari Kota Sambas. Baginda
Sultan Tengah beserta rombongannya kemudian disambut dengan baik oleh Ratu
Sapudak di Kota Lama dan dipersilahkan untuk tinggal di wilayah Panembahan Sambas ini.
Di Sambas inilah Sultan Tengah beserta keluarga dan
orang-orangnya menetap yaitu ditempat yang sekarang bernama Kembayat hingga
kemudian anaknya yang sulung yaitu Sulaiman beranjak dewasa. Setelah dewasa,
Sulaiman kemudian dinikahkan dengan anak perempuan bungsu dari Ratu Sapudak
yang bernama Mas Ayu Bungsu sehingga Sulaiman dianugerahi gelaran
"Raden" menjadi Raden Sulaiman. Raden Sulaiman
kemudian setelah keruntuhan Panembahan Sambas, mendirikan kerajaan baru yang
bernama Kesultanan Sambas dengan Raden Sulaiman sebagai Sultan Sambas pertama bergelar Sultan
Muhammad Shafiuddin I yaitu pada tahun 1675 M. Melalui Raden Sulaiman
(Sultan Muhammad Shafiuddin I) inilah yang kemudian menurunkan Sultan-Sultan Sambas berikutnya secara turun temurun hingga sekarang ini.
Info Tambahan:
Zuriat dari SULTAN MOHAMMAD HASSAN (Sultan ke-9
Brunei) lahirlah;
1. Sultan Jalilul-Akbar (Anak Sulong)-Keturunannya
sehingga ke DYMM Sultan Hassanal Bolkiah kini. 2. Sultan Muhammad Ali -Menjadi
Sultan di Brunei tidak beberapa lama & wafat kerana dibunuh. 3. Pangiran
Raja Tengah -Telah dihantar menjadi Sultan di Sarawak (Anakandanya Raden
Sulaiman kemudian menjadai Sultan Sambas) 4. Puteri Nurul A'lam - Telah menjadi
isteri Sultan Ahmad Shah ke-? (Pahang) 5. Pangeran Shahbandar Maharajalela @
Raja Bongsu-I -Telah dihantar menjadi Sultan di Sulu & Bergelar Sultan
Mawalil-Wasit-I @ Raja Bongsu-I (Dari baginda ini lah lahirnya Keeluarga Diraja
Sulu, iaitu Keluarga Kiram, Shakiraullah & Keluarga Maharajah Adinda).
Seorang zuraiat keturunan Raja Bongsu-I ini kini adalah bergelar "Raja
Muda Raja Bongsu-II ibni Sultan Aliuddin Haddis Pabila" dari Keluarga
Maharajah Adinda.
Panembahan Ratu Sapudak
Panembahan Ratu Sapudak adalah kerajaan hindu Jawa
berpusat di hulu Sungai Sambas yaitu di tempat yang sekarang disebut dengan
nama "Kota Lama". Kerajaan ini dapat disebut juga dengan nama "Panembahan
Sambas". Ratu Sapudak adalah Raja Panembahan ini yang ke-3, Raja
Panembahan ini yang ke-2 adalah Abangnya yang bernama Ratu Timbang Paseban,
sedangkan Raja Panembahan ini yang pertama adalah Ayah dari Ratu Sapudak dan
Ratu Timbang Paseban yang tidak diketahui namanya. Ratu adalah gelaran itu Raja
laki-laki di Panembahan Sambas dan juga di suatu masa di Majapahit.
Asal usul Panembahan Sambas ini dimulai ketika satu
rombongan besar Bangsawan Jawa hindu yang melarikan diri dari Pulau Jawa bagian
timur karena diserang dan ditumpas oleh pasukan Kesultanan Demak dibawah pimpinan Sultan Trenggono (Sultan Demak ke-3) pada sekitar tahun 1525 M. Bangsawan Jawa hindu ini diduga kuat adalah Bangsawan Majapahit karena
berdasarkan kajian sejarah Pulau Jawa pada masa itu yang melarikan diri pada
saat penumpasan sisa-sisa hindu oleh pasukan Demak ini yang melarikan diri
adalah sebagian besar Bangsawan Majapahit. Pada saat itu Bangsawan Majapahit
lari dalam 3 kelompok besar yaitu ke Pulau Bali, ke daerah Gunung Kidul dan
yang tidak cocok dengan kerajaan di Pulau Bali kemudian memutuskan untuk
menyeberang lautan ke arah utara, rombongan inilah yang kemudian sampai di
Sungai Sambas.
Pada saat rombongan besar Bangsawan Jawa yang lari
secara boyongan ini (diyakini lebih dari 500 orang) ketika sampai di Sungai
Sambas di wilayah ini di bagian pesisir telah dihuni oleh orang-orang Melayu
yang telah berasimilasi dengan orang-orang Dayak pesisir. Pada saat itu di
wilayah ini sedang dalam keadaan kekosongan pemerintahan setelah sebelumnya
terbunuhnya Raja Tan Unggal oleh kudeta rakyat dan sejak itu masyarakat Melayu
di wilayah ini tidak mengangkat Raja lagi. Pada masa inilah rombongan besar
Bangsawan Jawa ini sampai di wilayah Sungai Sambas ini sehingga tidak
menimbulkan benturan terhadap rombongan besar Bangsawan Jawa yang tiba ini.
Setelah lebih dari 10 tahun menetap di hulu Sungai
Sambas, rombongan Bangsawan Jawa ini melihat bahwa kondisi di wilayah Sungai
Sambas ini aman dan kondusif sehingga kemudian Bangsawan Jawa ini mendirikan
lagi sebuah kerajaan yang disebut dengan Panembahan atau dapat disebut dengan
nama "Panembahan Sambas" yang masih beraliran hindu. Yang menjadi
Raja Panembahan Sambas yang pertama tidak diketahui namanya setelah wafat, ia
digantikan anaknya yang bergelar Ratu Timbang Paseban. Setelah Ratu Timbang
Paseban wafat, ia digantikan oleh Adindanya yang bergelar Ratu Sapudak.
Pada masa pemerintahan Ratu Sapudak inilah datang
rombongan Sultan Tengah yang terdiri dari keluarga dan orang-orangnya datang
dari Kesultanan Sukadana dengan menggunakan 40 buah perahu yang lengkap dengan
alat senjata. Rombongan Baginda Sultan Tengah ini kemudian disambut dengan baik
oleh Ratu Sapudak dan Sultan Tengah dan rombongannya dipersilahkan untuk
menetap di sebuah tempat yang kemudian disebut dengan nama "Kembayat Sri
Negara". Tidak lama setelah menetapnya Sultan Tengah dan rombongannya di
Panembahan Sambas ini, Ratu Sapudak pun kemudian wafat secara mendadak.
Kemudian yang menggantikan Almarhum Ratu Sapudak adalah keponakannya bernama Raden Kencono yaitu anak dari Abang Ratu Sapudak yaitu
Ratu Timbang Paseban. Setelah menaiki Tahta Panembahan Sambas, Raden Kencono
ini kemudian bergelar Ratu Anom Kesumayuda. Raden Kencono ini
sekaligus juga menantu dari Ratu Sapudak karena pada saat Ratu Sapudak masih
hidup, ia menikah dengan anak perempuan Ratu Sapudak yang bernama Mas Ayu Anom.
Beberapa lama setelah Ratu Anom Kesumayuda menaiki
Tahta Kesultanan Sambas yaitu ketika Sultan Tengah telah menetap di wilayah
Panembahan Sambas ini sekitar 10 tahun, anak Baginda Sultan Tengah yang sulung
yaitu Sulaiman sudah beranjak dewasa hingga kemudian Sulaiman di jodohkan dan
kemudian menikah dengan anak perempuan bungsu dari Almarhum Ratu Sapudak yang
bernama Mas Ayu Bungsu. Karena pernikahan
inilah kemudian Sulaiman diangurahi gelaran Raden menjadi Raden Sulaiman. Tak lama setelah itu Raden Sulaiman diangkat menjadi salah satu Menteri
Besar dari Panembahan Sambas yang mengurusi urusan hubungan dengan negara luar
dan pertahanan negeri dan kemudian Mas Ayu Bungsu pun hamil hingga kemudian
Raden Sulaiman memperoleh seorang anak laki-laki yang diberi nama Raden Bima.
Tidak berapa lama setelah Raden Bima lahir, dan
setelah melihat situasi di sekitar Selat Malaka sudah mulai aman, ditambah lagi
telah melihat anaknya yang sulung yaitu Raden Sulaiman sudah mapan yaitu sudah
menikah dan telah menjadi seorang Menteri Besar Panembahan Sambas, maka Baginda
Sultan Tengah kemudian memutuskan sudah saatnya untuk kembali pulang ke
Kerajaannya yaitu Kesultanan Sarawak. Maka kemudian Baginda Sultan Tengah
beserta istrinya yaitu Putri Surya Kesuma dan keempat anaknya yang lain
(Adik-adik dari Raden Sulaiman) yaitu Badaruddin, Abdul Wahab, Rasmi Putri dan
Ratna Dewi berangkat meninggalkan Panembahan Sambas, negeri yang telah
didiaminya selama belasan tahun, yaitu kembali pulang menuju Kesultanan
Sarawak.
Dalam perjalanan pulang menuju Kesultanan Sarawak ini,
yaitu ketika hampir sampai yaitu di suatu tempat yang bernama Batu Buaya,
Baginda Sultan Tengah secara tidak diduga ditikam oleh pengawalnya sendiri
namun pengawal yang menikamnya itu kemudian ditikam balas oleh Baginda Sultan
Tengah hingga tewas. Namun demikian luka yang dialami Baginda Sultan Tengah
terlalu parah hingga kemudian membawa kepada kewafatan Baginda Sultan Tengah
bin Sultan Muhammad Hasan. Jenazah Baginda Sultan Tengah kemudian dimakamkan di
suatu tempat dilereng Gunung Santubong (dekat Kota Kuching) yang hingga
sekarang masih dapat ditemui. Sepeninggal suaminya, Putri Surya Kesuma kemudian
memutuskan untuk kembali ke Sukadana (tempat dimana ia berasal) bersama dengan
keempat orang anaknya (Adik-adik dari Raden Sulaiman).
Sepeninggal Ayahnya yaitu Sultan Tengah, Raden
Sulaiman yang menjadi Menteri Besar di Panembahan Sambas, mandapat tentangan
yang keras dari Adik Ratu Anom Kesumayuda bernamaRaden Aryo Mangkurat yang juga menjadi Menteri Besar Panembahan Sambas bersama Raden Sulaiman.
Raden Aryo Mangkurat bertugas untuk urusan dalam negeri. Raden Aryo Mangkurat
yang sangat fanatik hindu ini memang sudah sejak lama membenci Raden Sulaiman
yang kemudian dilampiaskannya setelah Ayah Raden Sulaiman yaitu Baginda Sultan
Tengah meninggalkan Panembahan Sambas. Kebencian Raden Aryo Mangkurat kepada
Raden Sulaiman ini disebabkan karena disamping menjadi Menteri Besar yang
handal, Raden Sulaiman juga sangat giat menyebarkan Syiar Islam di Panembahan
Sambas ini sehingga penganut Islam di Panembahan Sambas menjadi semakin banyak.
Disamping itu karena Raden Sulaiman yang cakap dan handal dalam bertugas
mengurus masalah luar negeri dan pertahanan sehingga Ratu Anom Kesumayuda
semakin bersimpati kepada Raden Sulaiman yang menimbulkan kedengkian yang
sangat dari Raden Ayo Mangkurat terhadap Raden Sulaiman.
Untuk menyingkirkan Raden Sulaiman ini Raden Aryo
Mangkurat kemudian melakukan taktik fitnah, namun tidak berhasil sehingga
kemudian menimbulkan kemarahan Raden Aryo Mangkurat dengan membunuh orang
kepercayaan Raden Sulaiman yang setia bernama Kyai Setia Bakti. Raden Sulaiman
kemudian mengadukan pembunuhan ini kepada Ratu Anom Kesumayuda namun tanggapan
Ratu Anom Kesumayuda tidak melakukan tindakan yang berarti yang cenderung untuk
mendiamkannya (karena Raden Aryo Mangkurat adalah Adiknya). Hal ini membuat
Raden Aryo Mangkurat semakin merajalela hingga kemudian Raden Sulaiman semakin
terdesak dan sampai kepada mengancam keselamatan jiwa Raden Sulaiman dan
keluarganya. Melihat kondisi yang demikian maka Raden Sulaiman beserta keluarga
dan orang-orangnya kemudian memutuskan untuk hijrah dari Panembahan Sambas.
Maka kemudian Raden Sulaiman beserta keluarga dan
pengikutnya yang terdiri dari sisa orang-orang Brunei yang ditinggalkan oleh
Ayahnya (Baginda Sultan Tengah) sebelum meninggalkan Panembahan Sambas dan
sebagian besar terdiri dari orang-orang Jawa Panembahan Sambas yang telah masuk
Islam.
Kesultanan Sambas
Setelah sempat singgah di Kota Bangun selama sekitar 1 tahun, rombongan Raden
Sulaiman yang hijrah dari Panembahan Sambas (Kota Lama) ini kemudian memutuskan
untuk menetap dan membuat perkampungan yaitu di suatu tempat di hulu Sungai
Subah yang disebut dengan nama Kota Bandir.
Selama Raden Sulaiman dan pengikutnya menetap di Kota
Bandir, dari hari kehari semakin banyak orang-orang dari pusat Panembahan
Sambas (Kota Lama) yang malarikan diri ke tempat Raden Sulaiman di Kota Bandir.
Larinya penduduk Kota Lama ini karena tidak tahan dengan tingkah laku adik Ratu
Anom Kesumayuda yaitu Raden Aryo Mangkurat yang selalu membuat keonaran dan
kekacauan di dalam negeri Panembahan Sambas. Hal ini menyebabkan semakin hari
penduduk Kota Lama semakin sedikit sebaliknya penduduk Kota Bandir semakin
banyak.
Setelah lebih dari 3 tahun menetap di Kota Bandir,
Ratu Anom Kesumyuda kemudian secara tiba-tiba menemui Raden Sulaiman dimana
Ratu Anom Kesumayuda menyatakan bahwa ia dan rombongan besar pengikutnya sedang
dalam perjalanan hijrah dari pusat Panembahan Sambas (Kota Lama) untuk kemudian
mencari tempat menetap baru di Sungai Selakau karena di Kota Lama Ratu Anom
Kesumayuda tidak sanggup mengendalikan tingkah polah Adik yaitu Raden Aryo
Mangkurat yang banyak membuat kekacauan sehingga akhirnya berseteru dengan Ratu
Anom Kesumayuda. Untuk itu Ratu Anom Kesumayuda menyatakan melepaskan
kekuasaannya atas wilayah Sungai Sambas ini dan menyerahkannya (memberikan
mandat) kepada Raden Sulaiman untuk menguasai dan mengendalikan wilayah Sungai
Sambas. Raden Sulaiman kemudian meminta tanda bukti dari Ratu Anom Kesumayuda
atas penyerahan kekuasaan atas wilayah Sungai Sambas ini yang kemudian dituruti
oleh Ratu Anom Kesumayuda dengan memberikan pusaka kerajaan sebagai tanda bukti
berupa 3 buah meriam lela.
Sekitar 3 tahun setelah menerima mandat ini dan
setelah berembuk dengan orang-orangnya serta mempersiapkan segala sesuatunya,
Raden Sulaiman kemudian memutuskan untuk mendirikan kerajaan baru yang
menguasai wilayah Sungai Sambas dan sekitarnya namun bukan berpusat di Kota
Bandir tetapi di tempat baru yaitu tidak jauh daru muara Sungai Teberrau yang
disebut dengan nama Lubuk Madung. Maka kemudian pada
tahun 1675 M berdirilah kerajaan baru
yang bernama Kesultanan Sambas berpusat di Lubuk Madung dengan Raden Sulaiman sebagai Sultan pertama dari
Kesultanan Sambas dengan gelar Sultan Muhammad Shafiuddin. Gelar ini mengikuti
gelar dari pak mudanya dari sebelah Ibunda (Putri Surya Kesuma) yaitu Sultan
Sukadana (Sultan Muhammad Shafiuddin / Digiri Mustika).
Dalam perkembangan awalnya lingkungan di pusat
pemerintahan Kesultanan Sambas yang baru berdiri ini sebagian besar adalah
orang-orang Jawa dari Panembahan Sambas yang telah masuk Islam ini sehingga
kemudian adat istiadat di lingkungan Keraton Kesultanan Sambas saat itu
didominasi oleh adat istiadat dan budaya Jawa seperti penamaan gelar-gelar
Kebangsawanan dan nama-nama keluarga Kesultanan yang bernuansa budaya Jawa.
Namun dalam perkembangan selanjutnya Kesultanan Sambas juga kemudian berhasil
merangkul dan membaurkan masyarakat Melayu-Dayak yaitu masyarakat Melayu yang
berasimilasi dengan masyarakat Dayak pesisir yang mana kedua suku bangsa ini
telah lebih dahulu mendiami daerah pesisir laut di sekitar wilayah Sungai
Sambas ini, dengan masyarkat Jawa peninggalan Panembahan Sambas yang kemudian
membentuk masyarakat Melayu Sambas hingga saat ini.
Selama menjadi Sultan Sambas di Lubuk Madung, Raden
Sulaiman / Sultan Muhammad Shafiuddin I giat mempererat hubungan dengan
negeri-negeri leluhurnya yaitu Kesultanan Sukadana dan Kesultanan Brunei. Kesultanan
Sukadana adalah leluhur dari pihak Ibundanya yaitu Putri Surya Kesuma (Adik
dari Sultan Sukadana yaitu Sultan Muhammad Shafiuddin / Digiri Mustika)
sedangkan Kesultanan Brunei adalah leluruh dari pihak Ayahnya yaitu Sultan
Tengah (anak dari Sultan Brunei ke-9 yaitu Sultan Muhammad Hasan), sehingga
kemudian pada masa pemerintahan Raden Sulaiman / Sultan Muhammad Shafiuddin I
ini terjalin hubungan yang sangat akrab dan baik antara Kesultanan Sambas
dengan Kesultanan Brunei dan Kesultanan Sukadana disamping juga mengembangkan hubungan persahabatan dan perdagangan dengan
kerajaan-kerajaan lainnya seperti Kerajaan Landak dan Kesultanan Trengganu di Semenanjung Melayu.
Setelah hampir 10 tahun memerintah Kesultanan Sambas
di Lubuk Madung, Raden Sulaiman / Sultan Muhammad Shafiuddin I kemudian
mempersiapkan anaknya yang sulung yaitu Raden Bima yang sudah dewasa untuk
menggantikannya kelak menjadi Sultan Sambas berikutnya. Maka Raden Bima
kemudian ditugaskan untuk melakukan kunjungan ke Kesultanan Sukadana dan
Kesultanan Brunei. Di Kesultanan Sukadana Raden Bima kemudian menikah dengan
adik dari Sultan Sukadana saat itu yaitu Sultan Muhammad Zainuddin yang bernama
Putri Ratna Kesuma. Dari pernikahan ini Raden Bima memperoleh seorang anak
laki-laki yang diberi nama Raden Mulia atau Meliau. Dari Kesultanan Sukadana
Raden Bima pulang ke Kesultanan Sambas dan kemudian melakukan kunjungan ke
Kesultanan Brunei.
Di Brunei, Raden Bima mendapat sambutan yang sangat
mesra dari Sultan Brunei saat itu yaitu Baginda Sultan Muhyiddin dan para
kerabat dari Kakeknya yaitu kerabat Baginda Sultan Tengah yang ada di Brunei.
Berbagai hadiah berupa berbagai alat kebesaran kerajaan diberikan Baginda
Sultan Muhyiddin kepada Raden Bima berikut anugrah gelaran "Sultan
Muhammad Tajuddin" yang diberikan oleh Baginda Sultan Muhyiddin kepada
Raden Bima apabila nantinya Raden Bima menjadi Sultan Sambas berikutnya
menggantikan Ayahnya yaitu Raden Sulaiman / Sultan Muhammad Shafiuddin I.
Penganugrahan gelaran "Sultan Muhammad Tajuddin" kepada Raden Bima
ini dilakukan mengikut adat kebesaran Kesultanan Brunei Darussalam yang
bertempat di Istana Kesultanan Brunei pada masa itu.
Sekembalinya Raden Bima dari Brunei yaitu ketika Raden
Sulaiman / Sultan Muhammad Shafiuddin I telah memerintah Kesultanan Sambas
selama sekitar 10 tahun, maka kemudian pada tahun 1685 M, Raden Sulaiman /
Sultan Muhammad Shafiuddin I mengundurkan diri dari Tahta dan mengangkat
putranya yaitu Raden Bima sebagai Sultan Sambas ke-2 dengan gelar Sultan Muhammad Tajuddin. Gelaran sesuai dengan gelaran yang diberikan oleh
Sultan Brunei yaitu Baginda Sultan Muhyiddin.
Sekitar satu tahun setelah menjadi Sultan Sambas ke-2,
Raden Bima / Sultan Muhammad Tajuddin kemudian atas persetujuan dari Ayahnya
(Raden Sulaiman) memindahkan pusat pemerintahan Kesultanan Sambas dari Lubuk
Madung ke suatu tempat dipercabangan 3 sungai yang kemudian dikenal dengan nama "Muare Ulakkan" yaitu pada sekitar tahun 1687 M. Muare Ulakkan ini merupakan lokasi percabangan 3 sungai yaitu Sungai Sambas, Sungai Teberrau dan Sungai Subah.
Dari sejak itulah Muare Ulakkan ini menjadi lokasi
pusat pemerintahan Kesultanan Sambas secara terus menerus selama sekitar 250
tahun hingga berakhirnya Kesultanan Sambas pada tahun 1944 M.
Pangeran Anom
Pangeran Anom adalah salah seorang anak dari Sultan
Sambas ke-5 yaitu Sultan Umar Aqamaddin II, nama kecilnya adalah Raden Pasu.
Ketika Ayahnya (Sultan Umar Aqamaddin II) wafat dalam periode ke-2
pemerintahannya, maka Abang Pangeran Anom yang bernama Raden Mantri
menggantikan Ayahnya dengan gelar Sultan Abubakar Tajuddin I (Sultan Sambas
ke-7). Sultan Abubakar Tajuddin I ini dengan Pangeran Anom ini adalah saudara
kandung satu bapak yaitu Sultan Umar Aqamaddin Ii tetapi berlainan ibu, Sultan
Abubakar Tajuddin I adalah anak dari istri pertama (permaisuri) sedangkan
Pangeran Anom adalah anak istri Sultan Umar Aqamaddin II yang ke-2.
Pangeran Anom kemudian menjadi Panglima Besar
Kesultanan Sambas yang sekaligus juga memimpin satu armada Angkatan Laut
Kesultanan Sambas yang terdiri dari 2 kapal layar bertiang 3 lengkap dengan
meriam yang didampingi dengan berpuluh-puluh perahu pencalang. Armada Laut
Kesultanan Sambas ini dibentuk pada sekitar tahun 1805 M oleh Pangeran Anom
bersama dengan Abangnya yang menjadi Sultan Sambas saat itu yaitu Sultan
Abubakar Tajuddin I.
Armada Angkatan Laut Kesultanan Sambas ini bertugas
untuk menjaga kedaulatan wilayah perairan Kesultanan Sambas saat itu yaitu
garis pantai yang membentang dari mulai Tanjung Datuk di utara (diatas Paloh)
hingga ke Sungai Duri di sebelah selatan. Armada Angkatan Laut Kesultanan
Sambas ini dibentuk setelah seringnya serangan para bajak laut terutama bajak
laut yang datang dari perairan Sulu dan pembakangan dari kapal-kapal Eropa
khususnya kapal-kapal Inggris yang menolak untuk melakukan aktivitas
perdagangan di wilayah Kesultanan Sambas dengan melalui pelabuhan induk
Kesultanan Sambas yang berada di Sungai Sambas dimana kapal-kapal Inggris ini
dengan lancang langsung mengadakan aktivitas dagang dipelabuhan-pelabuhan
Kongsi China di Selakau dan Sedau yang merupakan wilayah Kesultanan Sambas
tanpa melalui pelabuhan induk Kesultanan di Sungai Sambas. Kongsi-Kongsi itu
adalah perkumpulan orang-orang China yang berkelompok beradasarkan lokasi
penambangan emas mereka. Orang-orang China ini didatangkan oleh Sultan Sambas
sejak tahun 1750 M yaitu untuk mengerjakan pertambangan emas yang tersebar di
wilayah Kesultanan Sambas seperti Monteraduk, seminis, Lara, Lumar dan kemudian
juga Pemangkat.
Walaupun telah dibentuk armada angkatan laut Kesultanan
Sambas ini, kapal-kapal Inggris masih dengan angkuhnya tetap melakukan
aktivitas perdagangan di wilayah Kesultanan Sambas tanpa melalui pelabuhan
induk di sungai sambas. Aturan mesti melewati pelabuhan induk ini merupakan
aturan tata perdagangan pada Kerajaan di nusantara ini sejak zaman Sriwijaya
sehingga sudah merupakan aturan yang sah dan resmi, yaitu apabila ada kapal
asing yang tidak mau melewati pelabuhan induk maka kapal itu akan digiring,
bila tidak mau digiring maka kapal itu akan diperangi dan bila kapal itu
berhasil dikalahkan maka sebagai hukumannya, seluruh awak akan di tawan dan
seluruh harta kapal akan dirampas menjadi milik armada Kerajaan yang memiliki
wilayah itu.
Tetapi orang-orang eropa khususnya Inggris ini sering
meremehkan kedaulatan dan kemampuan kerajaan di nusantara ini yang untuk kasus
ini adalah Kesultanan Sambas. Hal ini kemudian membuat sering terjadinya
pertempuran Laut antara kapal-kapal Inggris yang juga bersenjatakan meriam itu
dengan armada angkatan laut Kesultanan Sambas dibawah pimpinan Pangeran Anom
ini dan berkat ketangguhan Pangeran Anom dalam memimpin armada laut Kesultanan
Sambas ini, dalam sekitar 4 atau 5 pertempuran laut yang terjadi, seluruhnya
dapat dimenangkan oleh armada Pangeran Anom ini.
Hal ini kemudian berlanjut terus hingga kemudian
menimbulkan semacam kondisi perang antara Kerajaan Inggris dengan Kesultanan
Sambas dimana bila di mana-mana perairan ditemukan kapal Inggris pasti akan
diserang oleh armada Kesultanan Sambas di bawah Pangeran Anom ini dan begitu
pula sebaliknya. Tercatat dalam sejarah beberapa nama kapal Inggris yang telah
ditaklukkan oleh armada laut Kesultanan Sambas ini yaitu kapal tranfers,
cendana, dan yang terakhir adalah kapal dengan nama Commerce (yang oleh lidah
Melayu Sambas di sebut kerimis).
Tanggal 11 Juli 1831, Sultan Usman
Kamaluddin wafat, tahta kerajaan dilimpahkan kepada Sultan Umar Akamuddin III.
Tanggal 5 Desember 1845 Sultan Umar Akamuddin III wafat, maka diangkatlah Putera Mahkota Raden
Ishaq dengan gelar Sultan Abu Bakar Tadjuddin II. Tanggal 17 Januari 1848 putera sulung beliau yang bernama Raden Afifuddin ditetapkan sebagai putera
Mahkota dengan gelar Pangeran Adipati Afifuddin. Tahun 1855, Sultan Abubakar
Tadjuddin II diasingkan ke Jawa oleh pemerintah Belanda (kembali ke Sambas tahun 1879).
Pangeran Adipati
Pangeran Adipati adalah gelar penghormatan untuk Putra
Mahkota. Pangeran Adipati yang dimaksud ini adalah Pangeran Adipati Afifuddin
yaitu anak dari Sultan Sambas yang ke-11 yaitu Sultan Abubakar Tajuddin II.
Sultan Abubakar Tajuddin Ii ini adalah Sultan Sambas terkahir yang berdaulat
penuh di dalam Negeri Sambas karena pada masa pemerintahannyalah untuk pertama
kalinya Belanda melakukan kudeta terselebung terhadap pemerintahannya melalui
sepupu dari Sultan Abubakar Tajuddin II ini yang bernama Raden Tokok' yang
kemudian menjadi Sultan Sambas ke-12 dengan gelar Sultan Umar Kamaluddin.
Sebelum Sultan Abubakar Tajuddin II terpaksa turun dari tahta Kesultanan Sambas
(tahun 1855 M)telah ada kesepakatan antara Sultan Abubakar Tajuddin dengan
Raden Tokok' dan Belanda bahwa setelah Raden Tokok' menjadi Sultan Sambas yang
akan menjadi Sultan Sambas berikutnya adalah anak dari Sultan Abubakar Tajuddin
II yaitu Pangeran Adipati Afifuddin karena dimasa Sultan Abubakar Tajuddin II
memerintah, Baginda telah mengangkat anaknya itu sebagai Putra Mahkota. Sejak
kudeta terselubung inilah kekuatan Belanda mulai berpengaruh di Kesultanan
Sambas sedangkan sebelumnya yaitu dari Sultan Sambas ke-1 (kesatu) (Sultan
Muhammad Shafiuddin I) hingga separuh pemerintahan dari Sultan Sambas ke-11
(kesebelas) (Sultan Abubakar Tajuddin II) Sultan-Sultan Sambas berdaulat penuh
artinya Kesultanan Sambas selama rentang masa itu tidak ada tunduk ataupun
dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan luar manapun termasuk Belanda. Hindia
Belanda mulai membuat perwakilannya di Kesultanan Sambas pada tahun 1819 M,
namun saat itu Sultan Sambas masih mengendalikan penuh perwakilan Hindia
Belanda itu. Pengaruh Belanda mulai berpengaruh di pemerintahan Kesultanan
Sambas adalah sejak masa Sultan Sambas ke-12 itu yaitu Raden Tokok' / Sultan
Umar Kamaluddin) yang naik tahta Kesultanan Sambas pada tahun 1855 M setelah
dengan dukungan Belanda membuat kudeta terselebung terhadap Abang Sepupunya
yang saat itu menjadi Sultan Sambas ke-11 (sebelas)yaitu Sultan Abubakar
Tajuddin II / Raden Ishaq). Setelah menyelesaikan pendidikannya pada Sekolah
Kebangsawanan di Batavia pada tahun 1861, Pangeran Adipati Afiffuddin pulang ke
Sambas dan diangkat menjadi Sultan Muda. Baru pada tanggal 16 Agustus 1866 beliau diangkat menjadi Sultan Sambas ke-13 dengan gelar Sultan Muhammad
Shafiuddin II. Ia mempunyai dua orang istri. Dari istri pertama (Ratu Anom
Kesumaningrat) dikaruniai seorang putera bernama Raden Ahmad dan kemudian
diangkat sebagai Putera Mahkota dengan gelar Pangeran Adipati Achmad. Dari
istri kedua (Encik Nana) dikaruniai juga seorang putera bernama Raden Muhammad
Aryadiningrat. Sebelum sempat menjadi Sultan Sambas, Putera Mahkota yaitu
Pangeran Adipati Ahmad wafat mendahului ayahnya (Sultan Muhammad Shafiuddin
II).
Setelah Sultan Muhammad Shafiuddin II telah memerintah
selama 56 tahun, Baginda merasa sudah lanjut usia, pada tahun 1924 Sultan
Muhammad Shafiuddin mengundurkan diri dari Tahta Kesultanan Sambas. Pada masa
ini kekuasaan Hindia Belanda telah semakin kuat mengendalikan pemerintahan di
Sambas dimana kemudian untuk menggantikan Sultan Muhammad Shafiuddin II yang
mengundurkan diri itu, oleh Pemerintah Hindia Belanda kemudian diangkatlah anak
Sultan Muhammad Shafiuddin II yaitu Raden Muhammad Aryadiningrat sebagai Sultan
Sambas selanjutnya (Sultan Sambas ke-14) dengan gelar Sultan Muhammad Ali
Shafiuddin II.
Setelah memerintah selama sekitar 4 tahun, pada tahun
1926, Sultan Muhammad Ali Shafiuddin II wafat dan kemudian sebagai
penggantinya, setelah sempat terjadi polemik menentukan Sultan selanjutnya
sekitar 5 tahun, pada tahun 1931 M, oleh Pemerintah Hindia Belanda diangkatlah
keponakan Sultan Muhammad Ali Shafiuddin II (Sultan Sambas ke-14) itu yang juga
adalah Cucu dari Sultan Muhammad Shafiuddin II (Sultan Sambas ke-13) yaitu
Raden Muhammad Mulia Ibrahim sebagai Sultan Sambas ke-15 dengan gelar Sultan
Muhammad Mulia Ibrahim Shafiuddin.
Jadi, sepanjang sejarah Kesultanan Sambas dari 15
Sultan Sambas, ada 2 Sultan yang diangkat tidak berdasarkan aturan temurun di
Kesultanan Sambas yaitu Sultan Sambas ke-14 (Sultan Muhammad Ali Shafiuddin II)
pada tahun 1924 dan Sultan Sambas ke-15 (Sultan Muhammad Mulia Ibrahim
Shafiuddin)pada tahun 1931 dimana 2 Sultan ini diangkat oleh Pemerintah Hindia
Belanda karena pada masa itu sudah begitu kuatnya pengaruh Pemerintah Hindia
Belanda di wilayah Borneo Barat / Kalimantan Barat pada masa itu.
Peta dibawah ini adalah menunjukkan peta wilayah Borneo Barat atau Kalimantan Barat setelah tahun 1930, dimana sejak tahun 1930, kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda telah menguasai secara penuh pemerintahan yang ada di wilayah ini. Warna biru laut tua yang ditunjukkan pada wilayah Kalimantan Barat pada peta dibawah ini menunjukkan wilayah kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda sejak tahun 1930 di wilayah Kalimantan Barat dengan nama Westerafdeling Borneo dimana Ibu Kota Pemerintah Hindia Belanda untuk wilayah Westerafdeling Borneo (Kalimantan Barat)itu adalah ber Ibu Kota di Pontianak sehingga disebut nama Pontianak mewakili area yang berwarna biru laut tua itu. Sedangkan saat itu di Kesultanan Sambas yang menjadi Sultan adalah Sultan Sambas ke-15 (Sultan Muhammad Mulia Ibrahim Shafiuddin) yaitu Sultan Sambas terakhir. Jadi Kesimpulannya sejak tahun 1930 sebenarnya seluruh Kerajaan yang ada di wilayah Kalimantan Barat ini secara administratif telah disatukan oleh Pemerintahan Hindia Belanda dibawah kekuasaannya sebagai ditunjukkan dengan wilayah yang berwarna biru laut tua itu yang kemudian menjadi Provinsi Kalimantan Barat pada masa NKRI.
Batas Wilayah Kekuasaan Kesultanan Sambas
Batas wilayah Kesultanan Sambas pada awalnya yaitu
ketika didirikan pertama kali oleh Raden Sulaiman (Sultan Muhammad Shafiuddin
I) adalah meliputi wilayah Sungai Sambas dan percabangannya serta wilayah
Sungai Paloh dan percabangannya. Ketika pada masa Sultan Sambas ke-2 yaitu
Sultan Muhammad Tajuddin I (Raden Bima) batas wilayah Kesultanan Sambas telah
meluas meliputi Sungai Sambas hingga wilayah Sungai Selakau dan percabangannya.
Wilayah kekuasaan Kesultanan Sambas kemudian terus meluas hingga pada masa
Sultan Sambas ke-4 (Sultan Abubakar Kamaluddin) wilayah kekuasaan Kesultanan
Sambas telah meliputi mulai dari Tanjung Datuk di utara hingga ke Sungai Duri
di selatan kemudian daerah Montraduk dan Bengkayang di tenggara hingga ke
daerah Seluas dan Sungkung di sebelah timur. Wilayah kekuasaan Kesultanan
Sambas dari masa Sultan Sambas ke-4 (Sultan Abubakar Kamaluddin) ini kemudian
terus bertahan hingga berakhirnya masa pemerintahan Kesultanan Sambas selama
sekitar 279 tahun (dengan melalui 15 Orang Sultan dan 2 orang Kepala
Pemerintahan) yaitu dengan bergabung ke dalam Republik Indonesia Serikat
(RIS)pada tahun 1950 M. Pada tahun 1956 M, bekas wilayah kekuasaan Kesultanan
Sambas itu (yaitu wilayah Kesultanan Sambas sejak Sultan Sambas ke-4 hingga
berakhirnya pemerintahan Kesultanan Sambas itu) secara utuh dijadikan wilayah
Kabupaten Sambas (sebagaimana tercantum dalam Berita Daerah Kalimantan Barat
mengenai pembentukan Kabupaten Sambas pada tahun 1956 M). Wilayah Kabupaten
Sambas ini kemudian terus bertahan hingga kemudian pada tahun 2000 M, wilayah
Kabupaten Sambas itu dimekarkan menjadi 3 Daerah Pemerintahan yaitu Kabupaten
Sambas, Kota Singkawang dan Kabupaten Bengkayang hingga sekarang ini.
Kedatangan Jepang
Setelah memerintah kira-kira 4 tahun, Baginda Sultan
Muhammad Ali Shafiuddin II wafat. Pemerintahan Kesultanan Sambas diserahkan
kepada keponakannya yaitu Raden Muhammad Mulia Ibrahim bin Pangeran Adipati
Achmad bin Sultan Muhammad Shafiuddin II menjadi Sultan Sambas ke-15 dengan
gelar Sultan Muhammad Mulia Ibrahim Shafiuddin. Pada masa pemerintahan Sultan
Muhammad Mulia Ibrahim Shafiuddin inilah, pasukan Jepang masuk ke Sambas.
Sultan Muhammad Mulia Ibrahim Shafiuddin kemudian menjadi salah seorang korban
keganasan pasukan Jepang ini yaitu bersama dengan sebagian besar Raja-Raja
lainnya yang ada di wilayah Borneo {Kalimantan) barat ini di bunuh pasukan Jepang
di daerah Mandor. Sultan Muhammad Mulia Ibrahim Shafiuddin inilah Sultan Sambas
yang terakhir. Setelah Sultan Muhammad Mulia Ibrahim Shafiuddin terbunuh oleh
Jepang, pemerintahan Kesultanan Sambas dilanjutkan oleh sebuah Majelis
Kesultanan Sambas hingga kemudian dengan terbentuknya Negara Republik
Indonesia, pada tahun 1956 M, Majelis Kesultanan Sambas kemudian memutuskan
untuk bergabung dalam Negara Republik Indonesia itu.
Peninggalan Kesultanan Sambas
Peninggalan dari jejak Kesultanan Sambas yang masih ada
hingga saat ini adalah Masjid Jami' Kesultanan Sambas, Istana Sultan Sambas,
Makam-makam Sultan Sambas dari Sultan Sambas pertama hingga Sultan Sambas ke-14
serta sebagian alat-alat kebesaran Kerajaan seperti tempat tidur Sultan
terakhir, kaca hias, seperangkat alat untuk makan sirih, pakaian kebesaran
Sultan, payung ubur-ubur, tombak canggah, 3 buah meriam canon di depan istana
dan 2 buah meriam lele, 2 buah tempayan keramik dari negeri Tiongkok dan 4 buah
kaca cermin besar dari Kerajaan Perancis dan 2 buah kaca cermin besar dari
Kerajaan Belanda. Sebagian
besar barang-barang peninggalan Kesultanan Sambas lainnya telah hilang atau
terjual oleh oknum tertentu, namun secara fisik jejak Kesultanan Sambas masih
terlihat jelas dan terasa kuat di Sambas ini. Juga Keturunan dari Sultan-Sultan
Sambas ini bertebaran di wilayah Borneo (Kalimantan) Barat ini baik di Kota
Sambas, Singkawang dan Pontianak yang sebagiannya masih menggunakan gelaran Raden.
Sultan-Sultan Sambas
Sultan-Sultan Sambas seluruhnya berjumlah 15 Sultan yaitu :
15. Sultan Muhammad Ibrahim
Shafiuddin bin Pangeran Adipati Achmad bin Sultan Muhammad Shafiuddin II (1931 - 1944)
( Sultan Sambas Terakhir )
16. Pangeran Ratu Muhammad
Taufik bin Sultan Muhammad Ibrahim Shafiuddin (1944 - 1984) ( Kepala Rumah
Tangga Istana Kesultanan Sambas )
17. Pangeran Ratu Winata
Kusuma bin Pangeran Ratu Muhammad Taufik (2000 - 2008) ( Kepala Rumah
Tangga Istana Kesultanan Sambas )
18. Pangeran Ratu Muhammad
Tarhan bin Pangeran Ratu Winata Kesuma (2008 hingga sekarang) sebagai
Pewaris Kepala Rumah Tangga Istana Kesultanan Sambas.
Adapun Silsilah Figur-Figur yang pernah memerintah di
Kesultanan Sambas selama 279 Tahun masa pemerintahan Kesultanan Sambas yaitu
dari sejak Kesultanan Sambas berdiri pada tahun 1671 M hingga berakhirnya masa
pemerintahan Kesultanan Sambas dengan bergabung kepada Republik Indonesia Serikat
(RIS) pada tahun 1950 M, adalah sebagai berikut :
1. Sultan Muhammad
Shafiuddin I (Raden Sulaiman bin Sultan Tengah)
Tahun : 1671 - 1682 M
2. Sultan Muhammad Tajuddin
I (Raden Bima bin Sultan Muhammad Shafiuddin I
)Tahun : 1682 - 1718 M
3. Sultan Umar Aqamaddin I (Raden Mulia / Meliau bin Sultan Muhammad Tajuddin I) Tahun : 1718 - 1732 M
4. Sultan Abubakar
Kamaluddin (Raden Bungsu bin Sultan Umar Aqamaddin I)
Tahun : 1732 M - 1762 M
5. Sultan Umar Aqamaddin II (Raden Jamak bin Sultan Abubakar Kamaluddin) Tahun : 1762 - 1786 M & 1793 - 1802 M
6. Sultan Muhammad Tajuddin
II (Raden Ahmad / Gayong bin Sultan Umar Aqamaddin II)
Tahun : 1786 - 1793 M
7. Sultan Abubakar Tajuddin
II (Raden Mantri bin Sultan Umar Aqamaddin II)
Tahun : 1802 - 1815 M
8. Sultan Muhammad Ali
Shafiuddin I (Raden Anom / Pasu bin Sultan Umar
Aqamaddin II) Tahun : 1815 - 1828 M
9. Sultan Usman Kamaluddin (Raden Sumba bin Sultan Umar Aqamaddin II) Tahun : 1828 - 1830 M
10. Sultan Umar Aqamaddin
III (Raden Semar bin Sultan Umar Aqamaddin II)
Tahun : 1830 - 1846 M
11. Sultan Abubakar Tajuddin
II (Raden Ishaq bin Sultan Muhammad Ali Shafiuddin II)
Tahun : 1846 - 1855 M
12. Sultan Umar Kamaluddin (Raden Tokok bin Sultan Umar Aqamaddin III) Tahun : 1855 - 1866 M
13. Sultan Muhammad
Shafiuddin II (Raden Hafifuddin bin Sultan Abubakar
Tajuddin II) Tahun : 1866 - 1922 M
14. Sultan Muhammad Ali
Shafiuddin II (Raden Muhammad Arif bin Sultan Muhammad
Shafiuddin II) Tahun : 1922 - 1926 M
15. Pangeran Bendahara
Muhammad Tayeb (Raden Muhammad Tayeb bin Sultan Muhammad
Shafiuddin II) Tahun : 1926 - 1931 M
16. Sultan Muhammad Mulia
Ibrahim Shafiuddin (Raden Muhammad Mulia Ibrahim bin Pangeran
Adipati Achmad bin Sultan Muhammad Shafiuddin II) Tahun : 1931 - 1944
17. Pangeran Tumenggung Jaya
Kesuma Muchsin Panji Anom (Raden Muchsin Panji Anom bin Pangeran
Cakra Negara Sulaiman Panji Anom bin Pangeran Muda Nata Kesuma Abdul Muthalib
bin Sultan Abubakar Tajuddin II) Tahun : 1946 - 1950 M
Gelar, Sebutan Penghormatan dan Jabatan di
Kesultanan Sambas
§ Seluruh Sultan Sambas
disamping mempunyai nama batang tubuh juga mempunyai nama gelaran seperti Raden Sulaiman bergelar Sultan Muhammad Shafiuddin I, Raden Ishaq bergelar
Sultan Abubakar Tajuddin II dan lainnya.
§ Sultan dengan sebutan
penghormatan: Sri Paduka al-Sultan Tuanku (gelar Sultan) ibni al-Marhum (nama dan gelar bapak), Sultan dan Yang
di-Pertuan Sambas, dengan panggilan Yang Mulia.
§ Sultan yang mengundurkan
diri dari Tahta mempunyai sebutan kehormatan "Yang Dipertuan
Sultan" dan menggunakan nama gelarannya sewaktu
menjadi Sultan misalnya : Yang Dipertuan Sultan Muhammad Shafiuddin II.
§ Permaisuri: Sri Paduka Ratu (gelar).
§ Putra Mahkota (Pewaris
Resmi Kerajaan) mempunyai sebutan kehormatan "Sultan Muda" atau "Pangeran Ratu" atau "Pangeran Adipati" namun tidak mempunyai gelar, jadi langsung kepada nama batang tubuhnya /
panggilannya. Putra Mahkota ini biasanya dipilih dari anak laki-laki sulung
dari Permaisuri yang disebut dengan nama "Anak Gahara".
§ Anak Sulung Sultan dari
istri bukan Permaisuri mempunyai sebutan kehormatan "Pangeran Muda".
§ Dibawah Sultan Sambas
terdapat 4 Jabatan Wazir dengan sebutan kehormatan "Pangeran" dan mempunyai nama gelaran
yaitu : Wazir I bergelar Pangeran Bendahara Sri Maharaja, Wazir II bergelar Pangeran Paku Negara, Wazir III bergelar Pangeran Tumenggung Jaya Kesuma dan Wazir IV bergelar Pangeran Laksmana. Keempat Wazir ini diketuai oleh Wazir I (Pangeran Bendahara Sri
Maharaja)dan keempatnya harus berasal dari kerabat dekat Sultan Sambas dan
mempunyai nasab yang sama.
§ Dibawah Wazir terdapat
Menteri-Menteri Kerajaan dengan sebutan kehormatan "Pangeran" yang diantaranya bergelar Pangeran Cakra Negara, Pangeran Amar Diraja dan lainnya.
§ Dibawah Pangeran
terdapat Chateria Kerajaan dengan sebutan kehormatan "Pangeran" namun tidak mempunyai nama gelaran jadi
langsung kepada nama batang tubuhnya / panggilannya.
§ Anak-anak dari Pangeran,
Pangeran Ratu atau Pangeran Adipati dan Pangeran Muda semuanya mempunyai
sebutan kehormatan "Raden".
§ Anak-anak dari Raden
mempunyai sebutan kehormatan "Urai". "Urai" dapat
kemudian menjadi "Raden" tetapi dengan suatu pengangkatan secara
resmi oleh Sultan.
disunting dari http://id.wikipedia.org
No comments:
Post a Comment
KOMENTAR ANDA AKAN SANGAT KAMI HARGAI
MAKA BERKOMENTARLAH DEMI KEMAJUAN BLOG INI